Selasa, 08 Maret 2011

OMBUDSMAN R.I. (ORI)

Bahan utk RDP Komisi II DPR RI dengan Ombudsman Republik Indonesia (ORI)

Kinerja 2010
Pada tanggal 17 Februari 2011 anggota baru ORI dilantik dan sebagai ketua adalah Danang Girindrawardana. Azlaini Agus sebagai wakil ketua. Budi Santoso, Ibnu Tri Nurcahyo, Hendra Nurcahyo, Khoirul Anwar, Petrus BP, Pranowo, dan Kartini Istiqomah sebagai anggota. Adapun program jangka pendek pada 100 hari pertama adalah dapat mengatasi permasalahan pelayanan masyarakat dari yang mudah seperti proses pelayanan membuat KTP, STNK, Pendidikan dan tiket kereta.
Sepanjang tahun 2010 Ombudsman telah diakses oleh masyarakat melalui berbagai mekanisme, antara lain lewat surat, datang langsung, website, email, telepon, fax, dan sebagainya. Jumlah keseluruhan akses masyarakat kepada Ombudsman pada tahun 2010 adalah 5942 akses, dengan dominasi akses melalui surat dan datang langsung. Dari keseluruhan akses tersebut, sebanyak 4888 akses berupa pertanyaan dan penyampaian laporan telah diselesaikan secara langsung oleh Ombudsman. Sedangkan sejumlah 1154 akses ditindaklanjuti sebagai laporan kepada Ombudsman yang telah memenuhi syarat formal. Hingga akhir Desember 2010 Ombudsman telah menindaklanjuti lebih dari 98% laporan masyarakat.
Dari 1.154 laporan kepada Ombudsman, instansi yang terbanyak dilaporkan oleh masyarakat adalah Pemerintah Daerah yaitu 360 laporan (31,21%). Fakta ini menunjukkan kesamaan dengan laporan masyarakat kepada Ombudsman pada tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan instansi lainnya yang juga banyak dilaporkan oleh masyarakat adalah Kepolisian 242 laporan (20,97%), Lembaga Pengadilan 161 laporan (13,95%), Badan Pertanahan Nasional 97 (8,44%), serta Instansi Pemerintah/Kementerian 89 laporan (7,69%).
Substansi atau permasalahan yang sering dikeluhkan masyarakat biasanya menyangkut kelambatan atau penundaan pelayanan oleh penyelenggara negara, misalnya perijinan yang tidak kunjung dikeluarkan oleh pihak pemerintah daerah, masalah sertifikat tanah yang tidak kunjung dilayani oleh kantor pertanahan, eksekusi putusan pengadilan yang tidak dilaksanakan, tidak adanya perkembangan lebih lanjut terhadap penyidikan oleh pihak kepolisian, dan sebagainya.
Substansi Penundaan Berlarut tersebut mencapai 50,19% dari seluruh laporan masyarakat (579 laporan), diikuti oleh substansi Penyalahgunaan Wewenang sebesar 17,74% (205 laporan), Berpihak 10,15% (117 laporan), Penyimpangan Prosedur 7,78% (90 laporan), Tidak Kompeten 4,65% (54 laporan), Permintaan Uang, Barang dan Jasa 3,98% (46 laporan), Tidak Patut 2,85% (33 laporan), dan Tidak Memberikan Pelayanan 2,66% (31 Iaporan).
Dari seluruh laporan masyarakat yang telah ditindaklanjuti, Ombudsman mencatat tingkat responsivitas yang tinggi dari instansi terlapor terhadap tindak lanjut Ombudsman (lebih dari 77%), baik berupa permintaan klarifikasi maupun rekomendasi. Namun demikian, ada pula rekomendasi Ombudsman yang hingga saat ini masih belum dipatuhi oleh instansi penyelenggara negara.

Penguatan Kelembagaan
Peraturan organik yang menjadi mandat UU 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik pad a tahun 2010 ini. Dari 7 (tujuh) perangkat organik tersebut, 5 (lima) diantaranya sudah diselesaikan yaitu:
Peraturan Pemerintah tentang Penghasilan, Uang Kehormatan dan Hak lain Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman Republik Indonesia (Pasal 18);
Keputusan Presiden tentang Panitia Seleksi Anggota Ombudsman Republik Indonesia [Pasal 15 ayat (1)];
Peraturan Presiden tentang Sekretariat jenderal Ombudsman Republik Indonesia [Pasal 13 ayat (4)];
Peraturan Ombudsman tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan (Pasal 41);
Peraturan Ombudsman tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Asisten [Pasal12 ayat (3)].

Sedangkan perangkat organik lainnya yang masih dalam proses penyusunan adalah:
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Sumber Daya Manusia pada Ombudsman, saat ini pembahasannya masih terus dilakukan oleh Tim Antar Kementerian di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan.
Rancangan Peraturan Pemerintah ten tang Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja Perwakilan Ombudsman di Daerah, saat ini pembahasannya sudah diselesaikan oleh Tim Antar Kementerian di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, dan masih menunggu pengesahan oleh Presiden Republik Indonesia.

Terkait dengan kelengkapan organisasi, sejak awal 2010 Ombudsman telah memiliki perangkat Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Ombudsman RI berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 71/M Tahun 2010 pad a tanggal 21 Januari 2010. Struktur organisasi Sekretariat Ombudsman RI kemudian berkembang dengan dilantiknya pejabat struktural eselon 2 dan 3 untuk mendukung kegiatan administrasi Ombudsman Rl.
Dampak dari kelengkapan struktur Sekretariat Jenderal Ombudsman tersebut adalah disetujuinya usulan agar Ombudsman RI dapat mengelola keuangannya secara mandiri mulai tahun 2011 dan tidak lagi berada di bawah Sekretariat Negara RI sebagaimana selama ini berjalan.
Pada tahun 2010 Ombudsman telah membentuk 3 (tiga) kantor perwakilan yaitu:
Kantor Perwakilan Ombudsman Wilayah Propinsi Jawa Barat, di Bandung, pada tanggal 8 November 2010;
Kantor Perwakilan Ombudsman Wilayah Propinsi Jawa Timur, di Surabaya, pada tanggal 17 November 2010;
Kantor Perwakilan Ombudsman Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, di Banjarmasin, pada tanggal 23 Nopember 2010.
Sebenarnya Ombudsman merencanakan untuk membentuk kantor perwakilan Papua pada tahun 2010, namun terkendala dengan kurangnya sumber daya manusia serta perbedaan biaya yang tinggi dibandingkan daerah lain sehingga anggaran yang telah ditentukan tidak mencukupi.

Anggaran
Pada 2010, Ombudsman mendapat porsi anggaran sebesar Rp. 16 milyar rupiah ditambah Rp 4 milyar (menjadi Rp 20 milyar) melalui anggaran biaya tambahan (ABT 2010).
Realisasi anggaran belanja Ombudsman Republik Indonesia sebagaimana dikeluarkan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara sampai dengan Triwulan IV 2010 sebesar 69,84%. Jumlah ini pada dasarnya lebih besar dibandingkan pada tahun lalu yaitu sebesar 55,68%.
Untuk anggaran 2011, ORI mengusulkan kenaikan anggaran menjadi 48 milyar. Kenaikan tersebut diperlukan mengingat banyaknya kebutuhan Ombudsman yang mendesak untuk dikerjakan, salah satunya mandat UU Pelayanan Publik yang mewajibkan Ombudsman membentuk kantor perwakilan di tiap propinsi dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak disahkannya UU Pelayanan Publik. Namun meski usulan tersebut didukung dan mendapat persetujuan Komisi II DPR RI pada kenyataannya tidak terwujud setelah Ombudsman menerima surat dari Kementerian Keuangan RI yang mengalokasikan anggaran dengan jumlah sama yaitu 16 milyar rupiah.


Kerjasama
Pada tahun 2010 ini pula Ombudsman mencatat pengembangan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain baik dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam negeri Ombudsman dan KPK menjalin kerjasama dan menekankan pentingnya fungsi pencegahan korupsi melalui pemberian pelayanan yang berkualitas oleh instansi penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah. Selain itu kerjasama dengan Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan dalam upaya melindungi hak-hak narapidana dan penghuni rumah tahanan tetap berjalan, salah satunya melalui Rapat Koordinasi dengan instansi penegak hukum di jakarta dan Sumatera Utara. Rapat Koordinasi juga dilakukan dengan pihak Kementerian Dalam Negeri mengingat selama beberapa tahun terakhir laporan masyarakat yang terbanyak adalah terkait kinerja Pemerintah Daerah.
Di tingkat internasionai. pada awal tahun 2010 Ombudsman RI telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Anti-Corruption and Civil Right Comission (ACRC) Korea Selatan terkait perlindungan hak-hak sipil kedua negara. Nota Kesepahaman tersebut member kesempatan bagi warga Indonesia di Korea maupun warga Korea yang berada di Indonesia dapat menyampaikan keluhan terkait pelayanan publik kepada Ombudsman RI maupun ACRC di negara tempat mereka tinggal.


Beberapa Pertanyaan
Terkait program jangka pendek pada 100 hari pertama ORI yang baru, yakni proses pelayanan membuat KTP, STNK, Pendidikan dan tiket kereta, saat ini sudah hampir satu bulan. Bagaimana perkembangan program 100 hari ORI?
Menilik data kinerja tahun 2010 ada sebanyak 1.154 laporan yang diterima Ombudsman atau rata-rata ada lebih dari 95 laporan perbulan. Jumlah ini memang relatif rendah, namun jangan senang dulu karena menurut saya ini fenomena gunung es, sejatinya masih banyak keluhan masyarakat terkait pelayanan publik yang belum atau tidak dilaporkan. Bagaimana strategi untuk memperkuat keberadaan dan meningkatan kinerja ORI? Krusial poin dari tindaklanjut pengaduan masyarakat adalah respon dari penyelenggara pelayanan public terhadap rekomendasi ORI, padahal ada kecenderungan mengabaikan dari penyelenggara pelayanan publik. Bagaiman agar rekomendasi ORI direspon baik oleh penyelenggara pelayanan publik?
Pasal 46 UU Nomor 37 Tahun 2008 menyebutkan ombudsman hanya ORI, padahal sebelum ini lahir (disahkan pada Paripurna DPR 8 September 2008) dan sebelum ORI memiliki perwakilan di daerah, sudah ada Ombudsman swasta dan bentukan pemerintah daerah di daerah. Akankah ORI akan mengeliminasi keberadaan ombudsman swasta? Apa tanggapan ORI terkait keberadaan Ombudsman swasta yang ada? Bagaimana mensinergikan dan mengintegrasikan Ombudsman Swasta dengan ORI?
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, ada dua payung hukum yang melandasi ORI yakni UU 37 tahun 2008 tentang Ombudsman dan UU 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Apakah dengan dua payung hukum diatas sudah cukup memadai untuk memberikan kekuatan hukum bagi ORI untuk membantu menciptakan pelayanan public yang semakin optimal? Catatan apa saja dari kedua UU tersebut, yang menurut Saudara perlu diperbaiki dalam rangka memperkuat ORI?
Anggaran ORI 2011 nyaris sama dengan anggaran 2010, walaupun DPR sudah berupaya maksimal untuk mendukung peningkatan alokasi anggaran untuk ORI, terkait dengan anggaran tersebut, bagaimana tanggapan ORI? Apa yang menjadi prioritas program ORI dengan dana tersebut? Bagaimana juga upaya ORI meningkatkan realisasi anggaran 2011?
CATATAN: Baru-baru ini Ombudsman Makassar mangajukan judicial review atas Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI tidak hanya mengancam eksistensi ombudsman daerah. Pasal 46 UU tersebut juga mengancam keberadaan lembaga ombudsman yang ada pada sejumlah media cetak dan elektronik di Indonesia. Dalam pasal 46 tersebut disebutkan bahwa semua lembaga yang bernama ombudsman di luar yang diatur UU harus berganti nama. Pergantian nama tersebut harus dilakukan selambat-lambatnya dua tahun sejak UU Nomor 37 Tahun 2008 tersebut berlaku. Berarti sejak dari tahun 2011 sudah tidak ada lagi nama yang menggunakan kalimat ombudsman. Dengan demikian apabila ada pengaduan kepada ombudsman di daerah, apakah pengaduan itu tetap bisa ditindak lanjuti atau bagimana saudara memandang judicial review atas UU Tentang Ombudsman RI ini. ada beberapa keganjilan dalam pasal 46 tersebut. Jika ombudsman daerah dianggap tidak sah, maka pengaduan yang masuk ke sana bisa juga disebut pengaduan tidak sah. "Apakah memang ada pengaduan tidak sah? kemudian semua orang punya hak mengadu untuk mencari solusi atas persoalannya kepada lembaga yang mereka percaya. Bagaimana tanggapan saudara? Dan apa solusi yang saudara tawarkan untuk melakukan pembangunan Ombudsan kedepan?
 

" Lembaga Ombudsman RI mempunyai tugas dan wewenang sesuai UU Nomor 37 tahun 2008 adalah mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintahan, BUMN, BUMD, BHMN, Badan swasta atau perseorangan. Tugas ORI sangat berat dan pasti terjadi benturan dengan penyelenggara pemerintahan. Ini semaki berat karena walaupun sudah ada sejak tahun 2000 (Komisi Ombudsman), namun masih banyak kelompok masyarakat (termasuk aparat pemerintah yang diawasi) belum tahu dan paham apa itu Ombudsman. Kondisi ini tentunya menempatkan Ombudsman pada posisi yang sulit, disatu sisi pasti akan bersinggungan dengan para penyelenggara pelayanan publik dan disisi lain para penyelenggara pelayanan publik tidak tahu dan tidak paham akan keberadaan Ombudsman. Apa langkah-langkah saudara terhadap kondisi ini dan apa yang akan Saudara lakukan untuk memperkuat eksistensi Ombudsman?
" Apa strategi saudara? dalam mensosialisasikan Ombudsman kepada masyarakat banyak, agar lembaga ombudsman ini dapat berjalan dengan sesuai harapan. Mengingat, banyak masyarakat yang tidak tahu dengan peran penting Ombudsman dalam peran perubahan yang lebih baik dalam reformasi birokrasi.
 

KESIMPULAN RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI II DPR RI DENGAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA. (Masa Persidangan III Tahun Sidang 2010-2011) SENIN, 7 MARET 2011
1. Dalam rangka mendukung dan mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik dari para penyelenggara pelayanan publik baik instansi Pemerintah, BUMN, BUMD, Badan Hukum Milik Negara, serta badan swasta atau perseorangan yang menjalankan penyelenggaraan pelayanan publik,. Komisi II DPR RI mendesak kepada Ombudsman Repbulik Indonesia untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangannya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Repbulik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, utamanya dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan, penguatan pengawasan, pembinaan, penyadaran, dan sosialisasi keberadaan Ombudsman Republik Indonesia.
2. Untuk meningkatkan standar pelayanan Ombudsman Repbulik Indoesia dalam menyelesaikan setiap laporan dan pengaduan masyarakat, serta inisiatif investigasi, Komisi II DPR RI mendesak kepada Ombudsman Republik Indonesia agar terjun langsung dalam permasalahan yang penting serta menyangkut kepentingan dan perhatian publik, sehingga keberadaan dan peran Ombudsman Republik Indonesia dirasakan langsung oleh masyarakat.
3. Terhadap tindak lanjut laporan pengaduan dan keluhan masyarakat terhadap rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pnyelenggara pelayanan publik, Komisi II DPR RI meminta kepada Ombudsman Republik Indonesia agar secara akif mengawal dan meningkatkan kualitas rekomendasi dalam penyelesaian permasalahan pelayanan publik. Untuk meningkatkan sinergi antara DPR RI dan Ombudsman RI, Komisi II DPR RI meminta agar seluruh rekomendasi yang diterbitkan oleh Ombudsman RI ditembuskan ke Komisi II DPR RI agar optimalisasi pengawasan lebih efektif.
4. Komisi II DPR RI mendesak kepada Ombudsman Republik Indonesia untuk melakukan penguatan institusi, perbaikan sistem pengelolaan sumber daya, serta melakukan terobosan baru melalui program-program unggulan yang dapat dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat.
5. Terkait dengan usulan anggaran tambahan sebesar Rp 31.700.026.250,- (tiga puluh satu miliar tujuh ratus juta dua pluh enam ribu dua ratus lima puluh rupiah) yang diajukan oleh Ombudsman Republik Indonesia untuk memenuhi kebutuhan anggaran Tahun 2011, Komisi II DPR RI setuju untuk dapat dipenuhi melalui mekanisme APBNP Tahun 2011 sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
6. Komisi II DPR RI meminta secara khusus kepada Ombudsman Republik Indonesia agar meningkatkan pengawasan pelayanan publik, utamanya terhadap pelaksanaan E-KTP, Pertanahan, pelaksanaan seleksi CPNS, serta transportasi umum (seperti kemacetan di DKI Jakarta).

KUNKER KOMISI II DPR RI di PERBATASAN RI-PNG Kab MERAUKE PROV PAPUA

CATATAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI II KE PERBATASAN RI-PNG DI KABUPATEN MERAUKE PROV PAPUA ( 3-4 Maret 2011 )

Fakta Umum
Panjang Wilayah Perbatasan darat RI-PNG mulai dari MM. 1 s/d MM. 14 A (Wutung, Jayapura s/d Muara Bensbach, Merauke) sekitar 760 Km, ditandai dengan 52 Tugu/Pilar batas (Nama tugu/pilar batas terlampir)
Kabupaten/Kota di Provinsi Papua yang berbatasan darat dengan adalah Papua New Guinea : 
1. Kabupaten Keerom
2. Kabupaten Pegunungan Bintang.
3. Kabupaten Merauke.
4. Kabupaten Boven Digoel
5. Kota Jayapura.
>> Jumlah Pos Lintas Batas yang sudah ada:
Kantor Pos Pelaporan Lintas Batas Darat di Skouw Distrik Muara Tami Kota Jayapura, petugasnya adalah Imigrasi, Bea Cukai, Karantina dan POLRI.
Kantor Pos Pelaporan Lintas Batas Laut di PPI Hamadi Distrik Jayapura Selatan Kota Jayapura, adalah Imigrasi, Bea Cukai, Karantina dan POLRI.
Kantor Pos Lintas Batas Darat Sota di Distrik Sota Kabupaten Merauke, petugasnya adalah Imigrasi, Bea Cukai dan POLRI.
Dalam tahap pembangunan, adalah kantor pos lintas batas di Kondo Distrik Merauke Kabupaten Merauke dimana baru terisi petugas imigrasi.
Sarana jalan dan alat transportasi dari Provinsi/Kabupaten/Kota yang menuju perbatasan masih sangat kurang, sampai saat ini jalan yang sudah ada dan bisa ditempuh lewat darat hanya dari Kabupaten/Kota ke perbatasan adalah Kabupaten Keerom, Kabupaten Merauke dan Kota Jayapura.
Potensi Konflik di daerah perbatasan antara RI-PNG karena:
Daerah Perbatasan sering dijadikan sebagai tempat pelarian orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum baik di wilayah RI maupun PNG yang sementara ini sebagian besar dari RI ke PNG.
Adanya pelintas batas illegal yang masuk ke wilayah PNG dan tidak mau kembali karena alasan politik antara lain kelompok pengacau keamanan
Seringnya terjadi pelanggar batas laut yang dilakukan oleh para nelayan WNRI yang memasuki negara lain tanpa dokumen yang lengkap, dimana mereka mencari ikan di luar perairan RI antara lain disebelah utara dan selatan perbatasan.
Adanya barang-barang selundupan yang masuk ke wilayah RI misalnya ganja maupun barang lain.
Adanya tanah hak ulayat penduduk PNG yang berada diwilayah Indonesia dan sebaliknya. 
Adanya penduduk yang mengaku WNPNG dan berdiam di wilayah RI, kasus Warasmol dan kasus Marantikin di kabupaten Pegunungan Bintang.
Empat distrik di Merauke yang berbatasan langsung dengan PNG:
Distrik Sota,
Distrik Ulilin,
Distrik Eligobel
Distrik Nokenjerai


Beberapa Pertanyaan
Beberapa permasalahan yang terjadi di daerah perbatasan diantaranya pelarian warga ke PNG, keterisolasian, kemiskinan, tidak ada pendidikan yang memadai, tidak ada pusat kesehatan masyarakat, persediaan kebutuhan pokok terbatas, dan masyarakat masih hidup berpindah-pindah. Ini tentunya pekerjaan rumah yang sangat berat bagi pemerintah daerah. Dan dapat dipastikan pembangunan wilayah di sepanjang perbatasan Papua-PNG sangat panjang, tidak dapat ditangani pemerintah daerah kabupaten sendiri. Terkait dengan itu:
Bagaimana kondisi masyarakat di 4 distrik yang berbatasan langsung dengan PNG?
Apa yang menjadi permasalahan utama didistrik-distrik tersebut?
Apakah Pemerintah Kabupaten Merauke memiliki design pembangunan wilayah perbatasan?
Bagaimana pola dan mekanisme pembangunan wilayah perbatasan yang melibatkan pemerintah pusat yang diinginkan oleh Pemerintah Kabupaten Merauke?

Pada 2011 dan 2012 BNPP akan garap 12 provinsi (cakupan wilayah administrasi), 25 kabupaten/kota (wilayah konsentrasi pengembangan), 39 kecamatan yang merupakan lokasi prioritas. Kecamatan tersebut di antaranya Entikong dan Paloh di Kalimantan Barat, Kayan Hulu dan Sebatik Barat di Kalimantan Timur, Insana Utara dan Bikomi Utara di Nusa Tenggara Timur, Miangas di Sulawesi Utara, dan Merauke di Papua. Pembangunan di kecamatan di kawasan perbatasan itu meliputi pembangunan infrastruktur seperti, jalan yang menyambungkan kecamatan dengan kabupaten/kota, pasar tradisional, penyediaan air bersih, dan pembangunan gedung-gedung sekolah dasar. Selain pembangunan infrastruktur, BNPP juga menargetkan pelaksanaan koordinasi untuk menyelesaikan segmen batas wilayah yang masih bermasalah, serta pembangunan pos-pos lintas batas secara bertahap pada 2011-2012.
Bagaiman pendapat dan tanggapan pemerintah Kabupaten Merauke terhadap rencana BNPP ini?
Untuk di Merauke, kecamatan mana yang menjadi prioritas untuk dibangun oleh BNPP?
Pembangunan infrastruktur apa yang menjadi prioritas di Merauke?

Penembakan terhadap dua anggota kelompok bersenjata di Kampung Nasem, Merauke, Papua, Jumat (14/1) pagi, terjadi setelah pelaku penyerangan mencuri senjata milik prajurit Pos Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) RI-PNG Batalyon Infantri 132/Bima Sakti.
Apa yang menjadi pokok permasalahan sehingga muncul penyerangan terhadap pos penjagaan perbatasan?
Adakah usulan Pemkab Merauke untuk melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pendukung pos penjaga perbatasan?

Baru-baru ini terjadi polemik tentang terhambatnya transportasi udara menuju kawasan perbatasan, Apau Kayan, Kabupaten Malinau. Masalah ini disebabkan karena proses penentuan pesawat untuk transportasi warga ke perbatasan ditentukan oleh pusat. Lelang pun dilakukan Kemenhub.  
Apa pendapat Pemkab Merauke terhadap permasalahan ini?
Apakah setuju bila proses penentuan pesawat untuk transportasi perbatasan ditentukan oleh Pemkab, bukan oleh pusat?

Catatan dr Dialog Komisi II dgn masyarakat perbatasan di Distrik SOTA
Air rawa biru
- masyarakat pribumi
- masyarakat .kanume blm Ada sarjana usual ketua komisi agar bupati buat program khusus krn di Merauke Ada universities....
-165 kampung..... 1 M perkampung
KS dgn Surya di karawaci
- th 2011 di Merauke penddkan gratis
- perumahan utk para guru dn para medis disiapkan
- dialog warga kampung: 1.- persoalan pelintasbatas dr ke2 negara, tp yg paling tinggi dr PNG..Usul bangunkan rumah singgah utk mereka.
Masalad desa terluar: tambahan usul kampung yg terdekat dgnprerbtsan di bangun sbg tears nkri, jg jalan agar rakyat bs mengakses dr kampungke distrik, diberikan kendaraan bagi penjaga pos sbg kalo Ada rapt koordinasi bs cpt dtg.
2. Yacob Bambu...man tan kepala kampung: jg ketua gabustam11 org
- tanah ulayat Ada, tp pembangunan hutan lindungan Ada disini yg dilaksanakan tp sec sepihak o/ pusat tanpa pemberitahuan dr warga... Warga kaget.
.....kembalikan sebahagian hak kami ?????? Daripada membiayai 1 kampung 1 M itu sebenarnya tdk Ada artinya. Artinya...?..
3. Kalvin: - SMK tdk Ada tagihan utk wkl bupati
- clearkan di perbatasan, org2 di PNG bebas bw minyak diluar batas aturan (20 liter) lewat jalan2 tikus bw berton2 mink. - mbl patroli yg tinggi jgn yg penned. -
Kepala distrik Nokenjerai: jalan dn jembatan rusak. Kendaraan operarasional utk kepala2 Distrik rod a 4 dn staf rod a 2
3. Pemekaran wil di kabulkan....

Kawasan Taman Nasional blh dikelola o/ masyarakat ... Ada hak2 ulayat jg boleh o/ masyarakat adat
- perbedaan batas neg dn batas adat

4. Dr Imigrasi: ttg lint's batas....pos....yi. Pos satu tap yg dibangun o/ pemda tp blm diaktifkan bersama2 dgn dr imigrasi, karantina dll
Pembangunan Imam sgt diperlukan. Mis.. Gereja pembangunannya


KESAMAAN BUDAYA DI PERBATASAN PAPUA – PNG
 
" Kesamaan adat, suku, bahasa, agama, hak ulayat, kekerabatan, dan hubungan ekonomi antara penduduk Indonesia di perbatasan Papua dan PNG merupakan sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri dan harus diposisikan sebagai asset bagi hubungan harmonis kedua Negara.
 
" Di Merauke paling tidak ada empat suku yang berbatasan langsung dengan PNG dan memiliki kesamaan budaya, yakni:
1. Suku Marind
2. Suku Kanum
3. Suku Yey
4. Suku Muyu
 
" Disatu sisi, kesamaan dan hubungan budaya yang erat dapat menjadi factor perekat, tapi disisi lain bila ditarik pada aras politik (apalagi gerakan politik) hal ini bisa menjadi potensi kendala. Soal GPK misalnya, masyarakat dalam posisi sulit, dengan kesamaan budaya atau bahkan suku, membantu GPK diartirkan sebagai membantu saudara sesuku. Sebaliknya membantu GPK artinya juga melawan aparat keamanan. Dan ini sangat mungkin terjadi, artinya mereka bukan dalam konteks politik “membantu” para GPK.
" Strategi social budaya dalam pembangunan daerah perbatasan harus menjadi prioritas yang didukung dengan pembangunan infrastruktur".
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Pengaturan soal lintas batas yang tidak saja menitikberatkan pada aspek hukum formal tetapi juga memperhatikan kesamaan dan keunikan budaya setempat.
b. Pendekatan yang harus dilakukan adalah menguasai bahasa dan budaya masyarakat di perbatasan. Ini berkaca kepada keberhasilan para misionaris menyebarkan agama di Papua.
c. Tidak menempatkan kesamaan budaya serta suku di perbatasan sebagai potensi konflik atau mengganggu keamanan tetapi lebih sebagai asset yang harus dipelihara dan dikembangkan.

CATATAN:
Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki kawasan perbatasan wilayah darat (kontinen) dan laut (maritim). Pulau kecil yang tersebar di seluruh perairan nusantara, selama ini dipublikasikan sebanyak 17.508 pulau. Kawasan perbatasan wilayah darat dengan 3 (tiga) negara: Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan wilayah laut (maritim) dengan 10 negara: Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, Timor Leste, Papua Nugini (PNG), Australia, Republik Palau dan India.

Kawasan perbatasan wilayah Indonesia pada dasarnya menunjukkan dua fenomena besar. Pertama, kondisi kehidupan sosial ekonomi, budaya dan keamanan yang masih sangat terbatas di dalam kawasan perbatasan itu sendiri. Kedua, kondisi pengelolaan perbatasan wilayah Indonesia–Negara tetangga masih perlu penataan dan pengelolaan lebih intensif karena mempunyai permasalahan dan persengketaan tentang penetapan batas wilayah.

Selama beberapa puluh tahun ke belakang kawasan perbatasan memang masih belum mendapat perhatian yang cukup serius, dilakukan tidak optimal dan kurang terpadu, tarik-menarik kepentingan sektoral dan horizontal. Sebagian besar kawasan perbatasan merupakan “kawasan tertinggal “, prasarana, sarana dan utilitas umum sangat terbatas, perumahan dan permukiman yang tidak layak huni, dan jarang penduduk. Pemerintah lebih mengutamakan pembangunan di kawasan padat penduduk, akses mudah dan potensial.
Kawasan perbatasan juga merupakan cerminan dari tingkat kemakmuran antara dua negara. Tidak jarang kawasan ini menjadi ajang konflik antara penduduk berbeda kewarganegaraan karena tujuan tertentu. Negara tetangga seperti Malaysia (Sabah dan Sarawak) secara ekonomi jauh lebih maju. Perbedaan kondisi sosial ekonomi dapat menimbulkan sejumlah efek negatif cenderung merugikan Indonesia. Sebagai misal, “pemanfaatan” sumber daya alam oleh negara tetangga tanpa kompensasi dan kewajiban memadai, dapat mengakibatkan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan maupun gangguan terhadap kehidupan penduduk. Bahkan, kehidupan sosial ekonomi beberapa kawasan perbatasan Indonesia sangat bergantung pada kegiatan ekonomi Negara tetangga (Contoh : di perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan). Hal ini berpotensi mengundang kerawanan politik, keamanan dan merendahkan martabat bangsa.

Kawasan perbatasan sering kali merupakan wilayah pembelahan kultural komunitas dianggap berasal dari satu akar budaya yang sama. Namun, kebijakan pemerintah dua negara bertetangga, akhirnya menjadikan dua entitas berbeda. Hal ini tentu perlu menjadi kajian tersendiri oleh pemerintah, mengingat perbatasan menjadikan dua entitas berbeda terjadi karena adanya Negara, sedangkan secara kultural dan adat istiadat merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan oleh batas Negara, sehingga terjadi klaim sepihak.

Di masa lalu, terdapat pandangan bahwa kawasan perbatasan perlu diawasi ketat karena menjadi tempat persembunyian pemberontak (semasa era reformasi diklaim lintas kaum teroris internasional). Pandangan ini menjadikan paradigma pengelolaan kawasan perbatasan lebih mengutamakan pendekatan keamanan (security approach) ketimbang pada kesejahteraan rakyat (social warfare). Hal inilah yang harus dikaji secara menyeluruh sehingga sebuah kebijakan tidak berdasarkan desakan waktu atau kebutuhan pusat semata.

Dari segi keamanan dan pertahanan, ditandai minimnya sarana dan prasarana. untuk itu, aktivitas aparat masih belum optimal pengawasan kontinen dan maritim juga lemah. sering kali terjadi pelanggaran batas wilayah oleh masyarakat kedua negara tetangga.
Bahkan, masih terdapat masalah:
1. Belum jelas dan tidak tegas garis batas kontinen dan maritim;
2. Masih kerap terjadi nelayan kedua negara melanggar batas wilayah negara;
3. Terdapat pelintas batas tradisional akibat hubungan kekerabatan, kesamaan adat dan budaya kedua negara.
Banyak aturan atau kebijakan tumpang tindih, dan tidak sedikit menimbulkan konflik baik horizontal maupun vertikal. Batas wilayah Negara adalah manifestasi kedaulatan territorial suatu Negara. Batas wilayah ditentukan proses sejarah, politik, dan hubungan antar Negara, yang dikulminasikan ke dalam aturan atau ketentuan hukum nasional maupun hukum internasional. Penanganan masalah dan pengelolaan perbatasan sangat penting saat ini untuk digunakan bagi berbagai kepentingan dan keperluan, baik Pemerintah, Masyarakat madani maupun pelaku usaha. Untuk itu, diperlukan strategi memiliki sasaran antara lain peningkatan kordinasi dan sinerji berbagai lembaga Negara (multisektor dan lintas kementerian) secara bersama untuk melakukan pengelolaan dan penatan kawasan perbatasan.

Masalah perbatasan Indonesia-Papua Nugini, yakni sejumlah kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk terdapat di kawasan perbatasan dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, kemudian berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari. Kendala kultur ini menimbulkan salah pengertian. Sehingga perlu adanya kajian sosiologis dan antropologis sehingga dapat diambil kebijakan yang sesuai dengan kultur setempat dengan tetap menjaga batas Negara tanpa memutus hubungan kultural.

"PERAN PEREMPUAN DALAM DEMOKRASI"

BEBERAPA CATATAN PEREMPUAN DAN POLITIK

 

Tabel 1
PROSENTASE PEREMPUAN DI DPR DARI MASA KE MASA
 

Periode
Perempuan
Laki-laki
 
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
1950-1955 (DPRSementara)
9
3,8
236
96,2
1955-1960
17
6,3
272
93,7
Konstituante :1956-1959
25
5,1
488
94,9
1971-1977
36
7,8
424
92,2
1977-1982
29
6,3
431
93,7
1982-1987
39
8,5
421
91,5
1987-1992
65
13,0
435
87,0
1992-1997
65
12,5
435
87,5
1997-1999
54
10,8
446
89,2
1999-2004
45
9,0
455
91,0
2004-2009
65
11,8
485
89,3
 

Mengapa Perempuan harus terlibat di Parlemen (Politik)
1. Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri.
2. Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat
3. Hanya dalam jumlah yang signifikan, perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti, seperti perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional.
 
Keterwakilan Perempuan dalam Sistem Pemilu
1. Distrik
Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif(caleg) di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih mengenal baik caleg pilihannya, sehingga caleg bertanggungjawab langsung ke pada pemilih
Caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga serta norma budaya yang telah sekian lama mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain
2. Proporsional 
Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol
Sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil.
3. Campuran 
Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya. Dengan demikian, sistem ini adalah yang paling baik karena meningkatkan keterwakilan perempuan serta akuntabilitas caleg.
 
 
Belajar dari India (Sistem Reservation Seats)
• Laporan Serikat Parlemen Sedunia menyatakan bahwa kaum perempuan India hanya memegang
• 7.2 persen kursi di Parlemen Rendah dan 7.8 persen kursi di Parlemen Tinggi. Perwakilan mereka tidak pernah melampaui 9 persen di dalam parlemen, 10 persen di Majelis Negara Bagian, dan 15 persen di Dewan Menteri.
• Amandemen ke-73 Konstitusi India memberikan penyisihan setidaknya sepertiga kursi untuk kaum perempuan sebagaimana juga untuk kedudukan ketua panchayat di segala tingkat, baik desa, distrik, dan pertengahan. Undang-undang untuk menyisihkan sepertiga dari keseluruhan kursi kepada perempuan dilaksanakan di tingkat panchayat dan zilla parishad di semua negara bagian di India tanpa perlawanan dari partai politik manapun juga.
• Akibat pelaksanaan RUU Panchayati Raj selama tiga tahun setelah negara-negara bagian mengesahkannya sesuai dengan amandemen Konstitusional ini, satu juta perempuan terpilih untuk duduk di dalam badan-badan setempat. Di banyak negara bagian, mereka bahkan melampaui kuota itu, misalnya di Karnataka, kaum perempuan adalah 47 persen dari anggota panchayat yang terpilih. Nyatanya, penyisihan sepertiga kursi kaum perempuan di dalam badan legislatif merupakan bagian dari suatu perubahan besar di dalam sistem itu.
• Sistem yang berlaku adalah sistem reservation seats di mana terdapat proses rotasi sebanyak sepertiga dari kursi parlemen yang ditujukan bagi kelompok-kelompok marjinal termasuk kaum perempuan.
• Dampak positif dari reservation seats di India adalah:
1. Demokrasi India secara keseluruhan menjadi lebih partisipatoris.
2. Persepsi diri kaum perempuan India mengalami perubahan menjadi lebih positif.
3. Pergerakan perempuan India menjadi lebih berpengaruh di dalam sistem politik India.
 
• Di lain pihak terdapat kendala-kendala setelah diberlakukannya reservation seats bagi kaum perempuan di pedesaan:
1. Pendanaan bagi calon perempuan tidak mudah dibandingkan dengan kaum laki-laki.
2. Kaum perempuan harus memasuki partai politik untuk dapat bersaing di dalam pemilihan umum.
 
• Adapun usulan-usulan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut adalah:
1. Kaum pergerakan perempuan India perlu membentuk Dana Nasional Perempuan untuk membantu pendanaan bagi para calon perempuan.
2. Perlu dipilih partai politik-partai politik yang memiliki agenda dan platform yang berkesetaraan jender.
3. Diperlukan pemikiran konseptual dan strategi implementasi dari suatu kebijakan tata kelolapemerintahan bagi kaum perempuan (local governance for women).
4. Diperlukan adanya kebijakan nasional bagi pemberdayaan kaum perempuan India.
 
 
 
Strategi Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan
 
1. Dukungan Konstitusi
Untuk memperkuat partisipasi politik perempuan, maka satu hal yang amat penting untuk mendapat perhatian adalah adanya jaminan dari konstitusi yang memberikan peluang seluas-luasnya bagi peranserta perempuan dalam berbagai bidang. Penerapan reservation seats (seperti di India) merupakan salah satu alternative yang dapat meningkatkan partisipasi politik secara signifikan. Berbeda dengan India, penerapan reservation seats di Indonesia dilakukan ditingkat pusat dulu.
 
2. Net –Working (jaringan)
Perempuan parlemen tentu saja tidak dapat bekerja efektif tanpa didukung oleh sebuah system net-working yang akan mendukung berbagai kegiatan mereka.
 
3. Data/informasi tentang status perempuan
Memiliki data dan informasi yang konkrit dan terpilah adalah suatu keharusan bagi partisipasi politik perempuan. Hal ini bukan saja untuk memberikan arah dalam mempekenalkan aturanaturan atau undang-undang baru atau mengamandemen aturan-aturan dan undang-undang lama, tetapi juga untuk memperkuat posisi tawar mereka terhadap suatu usulan. Bila perempuan memiliki data yang lengkap akan lebih mudah meyakinkan pihak-pihak lain untuk menerima usulan atau ide yang ditawarkan.
 
4. Anggota Parlemen perempuan harus menjadi model
Anggota parlemen perempuan seharusnya juga dapat menjadi narasumber tentang berbagai hal khususnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan perempuan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu perlu peningkatan kualitas anggota parlemen perempuan secara berkelanjutan.
 
5. Kesadaran akan kebutuhan konstituen
Suatu kekuatan yang harus dimiliki oleh anggota parlemen perempuan adalah memperoleh kepercayaan dari konstituennya. Oleh karenanya mereka harus mempererat hubungan dengan konstituennya dengan melakukan berbagai cara, misalnya:
a. Sering mengunjungi dengan konstituen
b. Berusaha memahami kebutuhan-kebutuhan konstituen dan meresponnya dengan baik, sehingga konstituen dapat merasakan bahwa suara yang diberikan benar-benar jatuh kepada orang yang tepat.