Sabtu, 04 Desember 2010

"Catatan Seputar Jogyakarta"

CATATAN SEPUTAR KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
 
• Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam:
1. Kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940;
2. Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945;
3. Amanat 5 September 1945;
4. Amanat 30 Oktober 1945;
5. Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949;
6. Penjelasan pasal 18,UUD 1945;
7. Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945;
8. Pasal 2, UU NO. 3/1950;
9. Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
 
• Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :
1. Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti-bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia;
2. Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950);
3. Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
 
• Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut-larut disebabkan oleh:
1. Manuver politik Sultan yang bertahta terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 karena Status Istimewa bagi DIY yang telah melekat sejak tahun 1945 dijadikan bargaining power secara kelembagaan, sementara itu sultan yang bertahta tidak memiliki bargaining position dalam percaturan politik secara nasional.
2. Setiap produk undang-undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, dan UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal-usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 b (ayat 1 & 2).
3. Pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas.
4. Ketidakpahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI.
5. Perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistim Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengacaukan sistim & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistim demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistim pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam-diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila.
6. Proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana walikota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
 
 
Perjalanan Sejarah DIY
 
• Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
 
• Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
• Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
 
• Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
 
• Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
 
• Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
 
• Pada tahun 1951 Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai. Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.
 
• Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.
 
• Perubahan yang cukup penting pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten, yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem). Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia.
 
• Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga BUKAN merupakan monarki konstitusi.
 
• Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII.
 
• Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika Serikat saat berobat. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
 
• Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003.
 
• Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
 
• Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
 
• Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh  dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
 
• Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.
 
• Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya.
 
• Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008.
 
• Pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta.
 
• Terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat membuka rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (26/11/2010), menyatakan, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi.
 
 
Aspirasi Rakyat Yogyakarta
 
• Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada 13 April 2007 menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta.
• Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung.
 
• Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).