Sabtu, 04 Desember 2010

"Catatan Seputar Jogyakarta"

CATATAN SEPUTAR KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
 
• Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam:
1. Kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940;
2. Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945;
3. Amanat 5 September 1945;
4. Amanat 30 Oktober 1945;
5. Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949;
6. Penjelasan pasal 18,UUD 1945;
7. Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945;
8. Pasal 2, UU NO. 3/1950;
9. Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
 
• Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :
1. Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti-bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia;
2. Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950);
3. Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
 
• Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut-larut disebabkan oleh:
1. Manuver politik Sultan yang bertahta terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 karena Status Istimewa bagi DIY yang telah melekat sejak tahun 1945 dijadikan bargaining power secara kelembagaan, sementara itu sultan yang bertahta tidak memiliki bargaining position dalam percaturan politik secara nasional.
2. Setiap produk undang-undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, dan UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal-usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 b (ayat 1 & 2).
3. Pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas.
4. Ketidakpahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI.
5. Perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistim Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengacaukan sistim & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistim demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistim pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam-diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila.
6. Proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana walikota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
 
 
Perjalanan Sejarah DIY
 
• Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
 
• Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
• Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
 
• Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
 
• Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
 
• Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
 
• Pada tahun 1951 Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai. Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.
 
• Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.
 
• Perubahan yang cukup penting pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten, yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem). Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia.
 
• Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga BUKAN merupakan monarki konstitusi.
 
• Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII.
 
• Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika Serikat saat berobat. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
 
• Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003.
 
• Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
 
• Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
 
• Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh  dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
 
• Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.
 
• Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya.
 
• Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008.
 
• Pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta.
 
• Terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat membuka rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (26/11/2010), menyatakan, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi.
 
 
Aspirasi Rakyat Yogyakarta
 
• Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada 13 April 2007 menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta.
• Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung.
 
• Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).
 

Sabtu, 09 Oktober 2010

Tanggapan terhdp bbrp masalah

Tanggapan terhadap Tembusan Surat DPRD Provinsi Jawa Barat kepada Menteri Dalam Negeri mengenai kejelasan  status, hak dan kewajiban.

 

Fakta:

1. Pengaturan mengenai DPRD Provinsi memang mengalami kerancuan. Dalam rezim UU tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 19 ayat 2), DPRD diposisikan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama dengan Pemerintah Daerah artinya DPRD merupakan bagian dari eksekutif. Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, artinya DPRD diposisikan sebagai legislatif sekaligus (unsur) eksekutif.
2. Begitu pula dalam rezim UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pada Pasal 291 DPRD diposisikan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah (dengan fungsi-fungsinya) yang juga berkedudukan sebagai unsur penyelengara pemerintahan daerah.
3. Kondisi ini menyebabkan posisioning DPRD menjadi ambigu antara pejabat daerah (ekuivalen dengan pejabat Negara seperti DPR) atau pegawai daerah (pegawai Negara).  Keduanya memiliki konsekuensi masing-masing terkait masalah keuangan, sarana, dan protokoler.  
4. Keambiguan ini juga berdampak pada peraturan turunan dari undang-undang yang mengatur  DPRD. Ini terbukti terjadi pada PP 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang cenderung menempatkan DPRD sebagai pegawai Negara/daerah.
 

Rekomendasi:

5. Terkait dengan tembusan surat dari DPRD Provinsi Jawa Barat, tanggapan Fraksi Gerindra DPR RI adalah:
a. Memahami kondisi yangdialami DPRD dan mendukung upaya DPRD untuk meminta Kemendagri membuat peraturan yang jelas terkait dengan posisi anggota DPRD dalam rangka menjamin kepastian hokum.
b. Menindaklanjuti dengan mempertanyakan dan menegaskan permasalahan ini dalam rapat kerja Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri.
c. Surat DPRD Provinsi Jawa Barat ini akan menjadi masukan dalam penyusunan revisi undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
d. Perlu dilakukan forum kordinasi nasional antar fraksi GERINDRA DPR RI dengan fraksi GERINDRA DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia sebagai wadah komunikasi Fraksi GERINDRA SE-INDONESIA.
   



 

Tanggapan terhadap surat Persatuan Perangkat Desa Indonesi (PPDI)

 

Fakta:

1. Rancangan Undang-Undang tentang Desa masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2010.
2. Pasal 202 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bawa Sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat.
3. PPDI menolak diskriminasi antara sekretaris desa (yang PNS) dengan perangkat desa lain.
 

Rekomendasi:

4. Ide dasar dari Pasal 202 ayat (3) yang menempatkan Sekretaris Desa dari PNS ini lebih didasarkan agar tercipta manajamen administrasi pemerintahan desa yang teratur dan terstandarisasi. Karenanya dibutuhkan manajer kantor pemerintahan desa, sama seperti halnya Sekda di Kabupaten/Kota. Ini kemudian diejawantahkan dengan dilakukannya pengangkatan Sekdes menjadi PNS yang kedepannya semua Sekdes adalah PNS.
5. Terkait dengan surat PPDI tersebut, Fraksi GERINDRA direkomendasikan untuk:
a. Menerima dan memperhatikan dengan baik usulan dari PPDI terkait dengan rencana pembahasan RUU tentang Desa.
b. Masukan dari PPDI dan dari stake holder pemerintahan desa lainnya akan menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi Fraksi Gerindra dalam pembahasan RUU tentang Desa.
c. Perlu kordinasi dengan fraksi lain dalam rangka penyikapan usulan ini. Kalaupun perlu tanggapan tertulis, wording-nya seperti Fraksi PKS.


 

Tanggapan terhadap Surat Penolakan SPPBE oleh Warga Desa Mandalawangi, Cipatat, Bandung.

 

Fakta:

1. Akan dibangun Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) di Kampung Kiara, Desa Mandalawangi, Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat.
2. SPPBE dibangun diatas lahan sawah produktif seluas 1,5 hektare dan berada dikawasan pemukiman penduduk yang padat.
3. Warga Desa Mandalawangi merasa tidak aman dengan rencana pembangunan SPPBE ini, selain juga warga merasa tidak dilibatkan dalam rencana tersebut.
4. Pemerintah Kecamatan Cipatat telah menghentikan sementara pembangunan SPPBE sejak awal Agustus 2010 karena perizinan yang belum lengkap dan adanya penolakan dari warga sekitar.
 

Rekomendasi:

5. Pembangunan tempat usaha dalam berbagai bentuknya, apalagi SPPBE, harus mendapatkan izin, melibatkan dalam proses pembangunan SPPBE, dan memberikan kesempatan warga sekitar untuk menjadi pekerja dalam SPPBE tersebut, sehingga keberadaan tempat usaha atau SPPBE memberikan dampak peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.
6. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dengan alasan apapun sedemikian rupa harus dihindari. Pemaksaan konversi lahan pertanian harus ditolak secara tegas mengingat dampaknya pada ketersedian pangan dikemudian hari.
7. Fraksi Gerindra DPR RI direkomendasikan untuk:
a. Mendukung upaya penolakan penggunaan lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian yang dilakukan oleh warga Desa Mandalawangi.
b. Fraksi atau anggota DPRD Gerindra di DPRD Provinsi Jawa Barat dan DPRD Kabupaten Bandung Barat harus proaktif menangani masalah ini dengan supervise dari anggota Fraksi Gerindra DPR RI Dapil Bandung Barat.  


 

Mediasi Sengketa Tanah di Gunung Kempeng, Bontang, Kalimantan Timur

 

Fakta:

1. Kelompok Tani Gunung Kempeng mengklaim tanah dengan luas ratusan hektar yang kini dikuasai PT Pupuk Kaltim tanpa mendapatkan ganti rugi sedikit pun.
2. Tanah tersebut merupakan tanah ulayat yang dijadikan menjadi tanah Negara kemudian dikuasai oleh PT Pupuk Kaltim.
3. PT Pupuk Kaltim berkeinginan untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur pengadilan.
4. Pada 15 Juni 2010, kelompok kerja Pertanahan Komisi II telah melakukan kunjungan kerja ke Bontang dan membantu melakukan mediasi terhadap masalah sengketa tanah ini.
 

Rekomendasi:

5. Mediasi untuk mendapatkan win-win solution harus dikedepankan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.
6. Karena kelompok kerja pertanahan sudah melakukan kunjungan kerja ke Gunung Kempeng, maka kalau pun ada kunjungan kerja ke lokasi yang sama dilakukan oleh satu dua orang anggota saja. Kunjungan kerja II ini lebih ditekankan untuk mem-follow up mediasi sengketa serta menunjukkan keseriusan kelompok kerja pertanahan Komisi II kepada masyarakat, eksekutif, dan swasta, dalam menyelesaikan setiap kasus sengketa pertanahan.
7. Sebagian anggota Kelompok Kerja Pertanahan melakukan kunjungan kerja ke daerah lain yang terjadi sengketa pertanahan, diusulkan ke Provinsi Sulawesi Selatan saja.

Selasa, 05 Oktober 2010

MASALAH PEMILUKADA KABUPATEN FAK FAK 2010

Fakta
1. Berdasarkan Rakornis KPU Provinsi Irjabar, pelaksanaan Pemilukada di 7 (tujuh) Kabupaten/Kota akan diselenggarakan serentak pada 1 September 2010. Ketujuh Kabupaten tersebut adalah: Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Manokwari, Kab upaten Raja Ampat, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Sorong Selatan
2. Pemilukada Kabupaten Fakfak diikuti oelh lima pasangan calon, yaitu: Said Hindom, S.E, M. Si-Ali Baham Temongmere, M. Tp, Muhammad Uswanas-Donatus Nimbitkendik, Hamid Kuman-Jimmy Nahuway, Latief Suery-Lajapa, Izak Bahamba-Drs. Firdaus Ahmad. Semua calon tersebut mayoritas berasal dari kalangan birokrat kecuali Lajapa yang berasal dari pensiunan TNI AL.
3. Pada 16 Agustus 2010, KPU Fakfak menyatakan belum siap melaksanakan Pilkada pada tanggal 1 September 2010, seperti direncanakan sebelumnya, maka diundur menjadi 26 September 2010. Perubahan jadwal dan tahapan proses dilakukan setelah evaluasi terakhir oleh KPU Fakfak.Pemerintah tidak kondusif di awal tahun 2010, terkait penganggaran dana Pilkada, karena itu beberapa tahapan tertunda hamper 2 bulan. Belum jelasnya Dana Pilkada, sementara Sidang Anggaran APBD 2010 telah disahkan DPRD Fakfak bulan awal bulan Maret 2010.
4. Pengunduran ini memunculkan pro dan kontra dikalangan kandidat:
a. Pasangan SAHABAT, mencurigai KPU tidak independen, juga mempertanyakan keabsahan Rapat Pleno KPU saat itu.
b. Calon Wakil Bupati Fakfak dari kandidat pasangan YONMA, Amin Ngabalin, justeru mendukung KPU Fakfak untuk merevisi jadwal Pilkada. Amin Ngabalin, menganggap telah terjadi pelanggaran oleh pasangan kandidat tertentu, yang jauh-jauh hari telah menyebut dirinya sebagai Calon Bupati/Wakil Bupati Fakfak 2010-2015 padahal saat itu belum ada keputusan KPU Kab. Fakfak tentang Penetapan Calon.
c. Kandidat Bupati dari Pasangan MODO, Mohammad Uswanas, juga mendukung perubahan jadwal tahapan. Menurut Uswanas, KPU Kab. Fakfak berwenang penuh menyelenggarakan Pilkada 2010, karena itu tidak perlu ada intervensi dari pihak luar.
d. Pasangan HAJI, sepakat dengan suara Tim Sahabat. Menurutnya, hanya force majoor yang dapat membatalkan atau mengubah rencana jadwal Pilkada.
e. Pasangan ALALA mendukung KPU Kab. Fakfak.
 
1. Hasil Quick Count Tim SAHABAT menunjukan kemenangan SAHABAT merebut 37% suara. Selebihnya berturut-turut diraih MODO (25%), HAJI (23%), YONMA (10%) dan ALALA (5%). Total suara sah hanya sekitar 35 ribu dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) 46.717 pemilih.
2. Belum didapatkan data hasil perolehan suara dari PPK dari berbagai sumber.
 
Landasan Hukum
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemeberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
 
Analisis
1. Merujuk pada Pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, terutama terkait dengan tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada huruf  j disebutkan bahwa KPUD Kabupaten/Kota menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh PPK di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara.
2. Selanjutnya KPUD Kabupaten/Kota memiliki kewajiban untuk membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara yang kemudian dituangkan dalam keputusan KPU Kabupaten/Kota untuk mengesahkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan mengumumkannya, serta  melaporkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota kepada KPU melalui KPU Provinsi.
3. Hal ini ditegaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 pada Pasal 86 ayat (1) yang menyebutkan: setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, KPUD kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat kabupaten/kota dan selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua PPK dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, KPUD kabupaten/kota membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPUD kabupaten/kota serta ditandatangani oleh saksi pasangan calon.
4. Merujuk pada UU Nomor 22 Tahun 2007 dan PP Nomor 6 Tahun 2005 (beserta perubahannya) maka proses penghitugan suara di tingkat KPUD Kab./Kota adalah penghitungan rekapitulasi PPK, bukan menghitung ulang dari kotak suara atau dari rekap PPS atau TPS. Bila penghitungan di KPUD Kab./Kota tidak berlandaskan rekapitulasi PPK, maka KPUD Kab./Kota dimaksud telah melanggar UU Nomor 22 Tahun 2007 dan PP Nomor 6 Tahun 2005.
5. Jika proses penghitungan suara sudah sesuai dengan tata urutan penghitungan, dimana KPUD Kabupaten/Kota melakukan penghitungan berdasarkan hasil rekap dari PPK, maka sudah dapat dipastikan hasil penghitungan KPUD Kab./Kota akan sama persis dengan hasil rekap PPK. Dan bila terjadi perbedaan, tapi berdasarkan hasil PPK, maka potensi perbedaan hanya dalam kisaran 1%.
6. Jika terjadi perbedaan hasil hitungan KPUD Kab./Kota dengan rekap PPK, maka ada kemungkinan:
a. Penghitungan KPUD Kab./Kota tidak berdasarkan hasil rekapitulasi PPK.
b. Terjadi kesalahan penghitungan yang mendasar dan fatal di PPK.
c. Terjadi penggelembungan suara di tingkat KPUD. 
 

URGENSI PEMEKARAN DAERAH DI PERBATASAN

oleh
Mestariany Habie, SH
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai GERINDRA
Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I
 
Daerah perbatasan merupakan wilayah pembelahan kultural sebuah komunitas yang dianggap berasal dari satu akar budaya yang sama namun oleh kebijakan pemerintah dua negara bertetangga dibagi menjadi dua entitas politik yang berbeda.  Daerah perbatasan juga merupakan cerminan dari tingkat kemakmuran antara dua negara dan tidak jarang, daerah ini menjadi ajang konflik antara penduduk yang berbeda kewarganegaraannya karena tujuan-tujuan tertentu.
 
Daerah perbatasan juga merupakan salah satu wilayah yang potensial menjadi kantung kriminalitas, seperti penyelundupan dan merugikan negara.  Daerah perbatasan juga sangat rawan terjadi tindak illegal logging atau bahkan trafficking yang kini tengah marak terjadi.
 
Sebagai negara kepulauan, dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut. Hanya ada tiga perbatasan darat dengan negara lain, sisanya perbatasan laut. Wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km.
 
Untuk diwilayah perbatasan darat di pulau Kalimantan, panjang perbatasan Indonesia-Malaysia mencapai +2004 km, terdiri dari Kalimantan Barat 857 km dan Kalimantan Timur 1.147 km. Perbatasan sepanjang itu tentunya membutuhkan “pagar” yang memadai sehingga dapat menjaga keutuhan wilayah Indonesia.
 
Masalah daerah perbatasan menjadi semakin penting dan perlu mendapat perhatian khusus mengingat kondisi daerah perbatasan yang serba keterbatasan sehingga tidak kondusif untuk menjadi pagar yang kokoh. Juga pasang surut hubungan perjiranan dengan Malaysia, yang beberapa tahun belakangan ini memanas.  
 
 
Back Yard Indonesia
Layaknya sebuah rumah, beranda yang berbatasan berhadapan langsung dengan jiran biasanya dibuat indah hingga menarik mata memandangnya serta mengajak berkunjung. Ini penting karena beranda depan memberikan first impression kepada tetangga, tamu, atau siapapun yang memandangnya. Tak hanya itu, beranda depan juga menunjukan ‘kualitas’ pemilik dan penghuni rumah.
 
Sama halnya dengan beranda rumah, daerah yang berada diperbatasan dua negara juga sejatinya adalah beranda depan rumah sebuah negara. Adalah kelaziman bila daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain dibuat indah karena menjadi pintu gerbang dan etalase sebuah negara. Ini paradigma umum yang pasti bisa masuk dan dimengerti nalar semua manusia normal.
 
Lantas bagaimana dengan kondisi daerah di Indonesia yang berbatasan langsung (darat) dengan negara jiran? Alih-alih menjadi beranda depan rumah yang selalu bersolek indah, malahan menjadi beranda belakang (back yard) yang tak terurus. Berbagai ’pernik’ permasalahan ketakterurusan beranda belakang menjadi warna khas daerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, terutama Malaysia.
 
Ironis memang, tapi itu fakta. Lihat saja di Pulau Sebatik, pulau yang secara administratif terbagi atas wilayah Malaysia dan Indonesia, di bagian dari wilayah Indonesia,  jaringan listrik yang dibangun negara sejak tahun 1991 belum juga beroperasi. Berbeda dengan wilayah yang tergabung dengan negara jiran, yang terang benderang di malam hari.

Jaringan telekomunikasi dan penyiaran publik milik pemerintah pun minim. Infrastruktur lembaga penyiaran publik, misalnya, yang diharapkan sebagai corong pemerintah, seperti RRI dan TVRI, baru menyentuh kota kabupaten. Warga perbatasan lebih banyak menerima siaran radio dan televisi Malaysia, yang sinyalnya lebih bagus dan kuat. ‘Infiltrasi’ budaya negara tetangga pun mau tak mau terjadi sebagai konsekuensi logis dari minimnya infrastruktur penyiaran.

Masalah lainnya lagi adalah masih minimnya infrastruktur jalan serta didukung kedekatan akses pasar mengakibatkan warga setempat lebih memilih menjual hasil pertaniannya ke Sarawak. Penjualan hasil bumi ke Malaysia, karena jaraknya relatif singkat, dan tidak butuh biaya besar. Sedang untuk menjual hasil pertanian ke pusat ekonomi di Kalimantan Barat yang terdekat harus  ditempuh dengan menggunakan jalur transportasi air, perahu motor "long boat", dengan jarak tempuh mencapai 10 jam, dan memakan biaya untuk pembelian BBM mencapai bisa mencapai Rp1,5 juta.

Bentuk-bentuk kehadiran negara jauh dari memadai, untuk dikatakan tidak ada. Tidak heran jika orientasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya warga lebih banyak ke Malaysia. Dan parahnya, kini sebagian besar penduduk di perbatasan lebih banyak menggunakan bahasa Malaysia sebagai bahasa keseharian tinimbang bahasa Indonesia. Bukankah itu ancaman nyata yang membahayakan kedaulatan negara?
 
Kondisi ini merupakan turunan dari cara pandang yang menempatkan daerah perbatasan sebagai beranda belakang yang tak perlu diurus. Paradigma wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara belum diwujudkan secara optimal, sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi Indonesia. Keadaan ini mengesankan bahwa komitmen pemerintah pusat maupun daerah dalam membangun wilayah perbatasan masih rendah. Disisi lain wilayah perbatasan memiliki potensi strategis ditinjau dari aspek kesejahteraan maupun keamanan.

Pengembangan wilayah perbatasan dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan darat sebagai beranda depan negara yang berorientasi pada aspek kesejahteraan (prosperity) dan keamanan (security) menjadi sebuah urgensi. Pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan darat perlu akselerasi, karena masalah perbatasan darat dari waktu ke waktu semakin kompleks.

Kesejahteraan dan Kedaulatan
Selama ini paradigma pembangunan Indonesia adalah paradigma kesejahteraan yang sudah pasti menggunakan welfare approach dengan titik berat pembangunan ekonomi, tak terkecuali daerah perbatasan. Dengan paradigma ini maka pertumbuhan dan pembangunan sektor ekonomi menjadi titik fokus. Dan sudah pasti pertimbangan yang dikedepankan juga pertimbangan ekonomi semata. Secara alamiah, daerah yang berkembang dan sejahtera adalah daerah yang secara ekonomi feasible untuk dikembangkan. Itu pula mengapa kota-kota di Pulau Jawa lebih maju pembangunannya dengan daerah lain.
 
Daerah-daerah terpencil dan minim penduduk, dengan paradigma kesejahteraan ansich, sudah pasti tidak akan tersentuh oleh pembangunan. Begitu juga dengan daerah perbatasan yang umumnya terpencil dan berpenduduk minim. Sudah minim jumlah, kualitas SDMnya juga rendah. Dengan nalar berfikir ekonomi, tentunya membangun daerah perbatasan sangat tidak ekonomis dan tidak menarik. Jadilah daerah perbatasan menjadi semakin terisolir dan tidak terurus.
 
Bila paradigma dan pertimbangan ekonomi terus dikedepankan dalam membangun daerah, bukan hal yang mustahil suatu saat daerah perbatasan akan terhapus dari peta Indonesia dan masuk dalam peta negara jiran. Kalau pun tidak secara kewilayahan, mungkin penduduk daerah perbatasan akan hijrah ke negara jiran. Hal ini tinggal menunggu waktu saja bila paradigma dan pertimbangan pembangunan Indonesia tetap seperti  yang selama ini diimplementasikan.
 
Untuk membangun daerah perbatasan diperlukan sebuah kebijakan khusus yang harus dilakukan secara komprehensif dengan meramu pendekatan keamanan (security approach) dan pendekatan kesejahteraan (welfare approach). Titik berat dan pertimbangan pembangunan bukan ekonomi semata tapi juga kepentingan nasional. Tujuan utamanya menjaga kedaulatan dan keutuhan negara, sehingga walaupun secara hitungan ekonomi tidak menguntungkan namun dalam kepentingan jangka panjang dan untuk keutuhan wilayah penting untuk dilakukan.
 
Hanya dengan paradigma yang mengedepankan kepentingan nasional, pembangunan daerah perbatasan yang terpencil dengan penduduk yang minim menjadi rasional untuk dilakukan. Dan dengan mengedepankan kepentingan nasional ini pula daerah perbatasan menjadi strategis.  Pokoknya tidak ada alasan yang bisa mementahkan pentingnya pembangunan daerah perbatasan bila bangsa Indonesia mengedepankan kepentingan nasional tinimbang kepentingan ekonomi semata.
 
Dengan pembangunan, daerah perbatasan menjadi daerah yang memadai dan layak untuk ditinggali atau bahkan layak dipertimbangkan sebagai daerah investasi dan pengembangan ekonomi baru. Masyarakat di daerah perbatasan pun bila daerahnya sudah dibangun dengan infrastruktur yang memadai tentunya akan kembali berpaling dan berkiblat ke negaranya daripada ke negara jiran. Tidak ada alasan lagi bagi masyarakat di daerah perbatasan untuk menjual hasil produksinya ke negeri jiran. Juga untuk sekadar menonton siaran televisi dari lembaga penyiaran negera jiran karena ada lebih dari 10 lembaga penyiaran nasional dengan berbagai variasi acaranya yang dapat dinikmati.
 
Pada akhirnya pembangunan di daerah perbatasan akan menjadikan daerah perbatasan menjadi beranda depan, pintu gerbang, dan etalase Indonesia. Dan muaranya, daerah perbatasan dan masyarakatnya akan menjadi ‘pagar’ yang efektif dalam menjaga keutuhan wilayah Indonesia dikemudian hari. Tidak perlu lagi pembangunan pos-pos perbatasan dan pengiriman TNI secara besar-besaran untuk menjaga daerah perbatasan karena masyarakat di daerah perbatasan akan secara sukarela menjaganya.
 
Provinsi Kalimantan Utara
Salah satu hal penting yang patut dipertimbangkan dalam rangka akselerasi pembangunan daerah perbatasan dengan mengedepankan kepentingan nasional adalah memotong rentang kendali pemerintahan yang ada di daerah perbatasan. Dengan rentang kendali pemerintahan yang pendek maka pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik akan menjadi semakin terfokus sehingga kesejahteraan semakin mudah digapai.
 
Rentang kendali pemerintahan, terutama diluar Pulau Jawa, biasanya sangat luas, bahkan ada provinsi yang rentang kendali pemerintahannya mencapai hamper dua kali luas Pulau Jawa ditambah Pulau Madura. Rentang kendali pemerintahan yang terlalu luas ini juga biasanya berada di daerah perbatasan. Dengan rentang kendali yang begitu luas adalah menggantang asap mengharapkan akselerasi pembangunan didaerah dimaksud.
 
Untuk memotong rentang kendali pemerintahan yang harus dilakukan adalah pemekaran daerah, satu provinsi dimekarkan menjadi dua atau lebih provinsi atau satu kabupaten dimekarkan menjadi dua atau lebih kabupaten. Dengan pemekaran daerah maka rentang kendali menjadi tidak terlalu luas dan memadai untuk dilaksanakan pembangunan dan pelayanan publik yang layak.
 
Salah satu daerah yang patut dipertimbangkan untuk dilakukan pemotongan rentang kendali pemerintahan dengan pemekaran provinsi adalah daerah yang berada berbatasan langsung dengan negera jiran Malaysia di Pulau Kalimantan, yang selama ini tergabung dalam Provinsi Kalimantan Timur. Lebih dari seribu kilometer wilayah Kalimantan Timur berbatasan langsung dengan negara jiran. Ini menjadi salah satu dasar urgensi bagi pemekaran daerah di daerah perbatasan, dalam hal ini pemekaran Provinsi Kalimantan Timur menjadi Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Utara.
 
Bila ditilik secara mendalam, wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan memiliki arti yang sangat penting baik secara ekonomi, geo-politik, dan pertahanan keamanan karena berbatasan langsung dengan wilayah negara jiran yang memiliki tingkat perekonomian relatif lebih baik. Selain juga potensi sumber daya alam yang dimiliki di wilayah ini cukup melimpah, namun hingga saat ini relatif belum dimanfaatkan secara optimal.

Urgensi lain akan pentingnya pemekaran Provinsi Kalimantan Timur dengan membentuk Provinsi Kalimantan Utara adalah ketertinggalan secara ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di daerah perbatasan. Kondisi keterbatasan tersebut akan semakin nyata dirasakan oleh masyarakat perbatasan ketika mereka membandingkan dengan kondisi pembangunan di negara tetangga Malaysia.
 
Dan menjadi urgensi yang tidak terbantahkan bila kita mengedepankan kepentingan nasional untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara dimasa yang akan datang. Pembentukan provinsi baru di daerah perbatasan seperti Provinsi Kalimantan Utara, apalagi dengan mempertimbangkan hubungan Indonesia-Malaysia yang seringkali tidak harmonis soal perbatasan ini, menjadi kebutuhan.
 
Pengkajian secara mendalam dan tidak dilakukan secara emosional juga menjadi prasyarat proses yang harus dipenuhi oleh sebuah daerah untuk menjadi provinsi baru, termasuk juga calon Provinsi Kalimantan Utara.
 
Yang tidak kalah pentingnya adalah menempatkan pembentukan Provinsi Kalimantan Utara ini sebagai ikhtiar bangsa dan pemerintah Indonesia untuk mensejahterakan rakyatnya sehingga hidup layak dan menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa sehingga menjadi kembali bangsa yang dihormati dan disegani.